Dua Kali Mangkir, Langsung Dipecat

Oleh: Dr. TA Legowo
Pengamat politik dari Forum Masyarakat Peduli
Parlemen Indonesia (Formappi) dan Ketua Komisi Publikasi PP AIPI Periode 2008-2011

DPR kembali mengundang keprihatinan publik. Aksi aktor senior Pong Harjatmo yang mencoret-coret atap gedung DPR beberapa waktu lalu jelas merupakan petunjuk kuat kejengkelan sebagian masyarakat kepada para anggota Dewan.

Buruknya kinerja DPR pada tahun pertama masa kerjanya menjadi pemicu keprihatinan sekaligus kejengkelan itu. Bukan tidak mungkin aksi-aksi serupa akan berlanjut pada hari-hari mendatang jika DPR tidak segera memperbaiki diri dan kinerjanya hingga memuaskan harapan masyarakat.

DPR memang seharusnya memuaskan harapan rakyat. Sebab, lembaga ini berisi anggota-anggota terhormat yang mewakili masyarakat. Anggota-anggota DPR jelas bukan ’’orang biasa’’, karena mereka adalah andalan-andalan partai politik yang didukung dalam pemilu dan dipercaya bisa memperjuangkan kepentingan- kepentingan pemilih.

Sidang-sidang DPR, baik sidang panitia kerja, panitia khusus, komisi, badan, maupun paripurna, diadakan untuk dihadiri. Tujuannya jelas, supaya DPR dapat membuat keputusan.

Namun, di balik tujuan formal itu sebenarnya sidang-sidang DPR harus ada dan dihadiri karena menjadi arena perjuangan untuk menyuarakan kepentingan masyarakat yang mereka wakili. Tanpa kehadiran anggota Dewan, jelas sidang-sidang itu menjadi tidak ada gunanya karena bukan lagi merupakan arena perwakilan masyarakat.

Anggota DPR bolos atau mangkir tanpa keterangan yang jelas, sekalipun hanya satu kali, pada dasarnya sudah merupakan pelanggaran etika perwakilan. Dengan mangkir, seorang anggota legislatif telah mengkhianati sumpahnya untuk menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan kepentingan publik.

Ia juga secara langsung mengingkari kepercayaan masyarakat yang telah memberikan mandatnya. Aturan etik yang diterapkan terkait dengan kehadiran anggota DPR dalam sidang sungguh sangat longgar, yaitu: enam kali berturut-turut tidak hadir dalam sidang yang sama dinyatakan sebagai pelanggaran kode etik.

Aturan semacam ini tidak akan mempunyai arti apa pun bagi penegakan etika perwakilan. Mungkin sekali karena longgarnya aturan etik tersebut, anggota Dewan yang mangkir berkali-kali tetapi dalam sidang-sidang yang berlainan menjadi praksis yang lazim.

Sidang-sidang yang padat dan berlangsung dalam waktu bersamaan, ataupun juga sidang-sidang yang berlangsung bersamaan dengan tugas-tugas partai politik dan lain-lainnya, sering dijadikan alasan untuk mangkir.

Ini sebetulnya bukan alasan yang bisa menjadi justifikasi. Sebenarnya yang dituntut oleh aturan relatif mudah, yaitu: sajikan keterangan yang sah ketika tidak hadir. Tanpa keterangan yang sah, anggota DPR memang harus dinyatakan mangkir.

Memperbaiki Kinerja
Mangkir dan bolos menjadi salah satu alasan buruknya kinerja tahun pertama DPR periode 2009-2014. Kuorum sidang yang tidak terpenuhi menyebabkan keputusan tidak dapat diambil. Itu berarti, capaian (output) kinerja Dewan tertunda, atau bahkan batal sama sekali. Target legislasi DPR pada tahun ini dicanangkan 70-an UU; tapi sampai pertengahan tahun baru 7 UU yang dihasilkan. Tak bisa dibayangkan apakah DPR mampu memenuhi targetnya pada akhir tahun ini, apalagi jika kebiasaan mangkir tetap berlanjut.

Dalam pelaksanaan fungsi anggaran, DPR pun tidak terlihat telah mati-matian memperjuangkan anggaran yang berpihak kepada pemerataan kesejahteraan masyarakat. Yang mencuat justru perjuangan menggolkan dana aspirasi Rp 15 miliar untuk masing-masing anggota Dewan.

Pelaksanaan fungsi pengawasan pun terlihat hanya menonjol kalau memberi keuntungan politis bagi anggota secara perorangan dan untuk partai politiknya. Lihatlah pelaksanaan hak angket Bank Century. Selepas tekanan-tekanan politik yang muncul selama proses angket, kini anggota DPR terlihat tidak terlalu risau dengan berbagai persoalan yang mengusik rasa kemanusiaan masyarakat, mulai korban ledakan tabung gas elpiji yang tidak kunjung reda hingga kasus-kasus korupsi yang tidak berujung pada penyelesaian secara tuntas dan terbuka.

Penegakan disiplin untuk hadir dalam sidang-sidang tentu akan menjadi salah satu faktor yang berpotensi mendongkrat kualitas kinerja DPR. Paling tidak, dengan kehadiran yang lengkap dan memenuhi kuorum, sidang-sidang dapat dilangsungkan sesuai dengan agenda dan karena itu dapat segera diambil berbagai keputusan.

Keputusan-keputusan legislatif yang didasarkan pada proses deliberasi oleh anggota-anggota DPR dapat memantulkan kurang atau lebih aspirasi yang berkembang di masyarakat. Dengan cara ini pula, anggota DPR memenuhi etika perwakilannya.

Tersirat dalam ekspektasi itu adalah bahwa disiplin yang tegak bukan sekadar membubuhkan tanda tangan dalam daftar hadir persidangan, tetapi secara fisik tidak ada dalam persidangan. Jika ini yang terjadi, jelas yang bersangkutan telah melakukan penipuan publik. Ganjaran pantasnya adalah dipecat dari keanggotaan DPR.

Pemotongan gaji diusulkan sebagai salah satu cara memastikan disiplin kehadiran. Namun, banyak yang menyangsikan cara ini akan efektif, sebab pemotongan gaji tidak akan dirasakan sebagai ìkerugianî yang bisa mendorong anggota DPR untuk menghindarinya.

Bahkan sebagian wakil rakyat menyatakan usulan itu merupakan penghinaan karena mengasumsikan anggota DPR bekerja hanya untuk mendapatkan (menyelamatkan) gajinya. Dengan catatan itu, pemotongan gaji bukan solusi yang tepat.

Absensi dengan sidik jari (finger print) juga diusulkan. Tetapi, sekali lagi persoalannya bukan sekadar membubuhkan sidik jari dalam daftar kehadiran, melainkan benarkah secara fisik yang bersangkutan ada dan aktif dalam persidangan? Jadi, dengan finger print sekalipun, mereka tetap bisa mangkir.

Cara ini ternyata juga bukan penyelesaian yang jitu. Nampaknya apa yang diperlukan anggota DPR adalah aturan yang jelas dan tegas, serta sanksi atau hukuman yang efektif menimbulkan kejeraan. Aturan dan sanksi seperti ini hanya satu, yaitu anggota DPR yang dua kali tidak menghadiri sidang yang sama pada tingkatan apa pun tanpa keterangan yang sah, langsung diberhentikan alias dipecat.

Seandainya aturan dan sanksi semacam itu dapat diberlakukan segera, bukan tidak mungkin DPR yang kini tengah terpuruk kredibilitasnya akan segera berubah dan dicatat sebagai DPR yang reformis dan kredibel. (59)

Dimuat di Suara Merdeka, 02 Agustus 2010

0 Responses to “Dua Kali Mangkir, Langsung Dipecat”



  1. Leave a Comment

Leave a comment




Joint at Milist AIPI

Publikasi-Publikasi AIPI
















Jejak Pengunjung

Kalender

August 2010
M T W T F S S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
3031