Ambang Batas Parlemen

Oleh: Prof. Dr. Syamsuddin Haris
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI dan Sekjen PP AIPI

Salah satu isu krusial yang menghambat penyelesaian Rancangan Undang- Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) di tangan DPR adalah alotnya “kompromi” atas persentase ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) yang diberlakukan untuk Pemilu 2014.

Badan Legislasi (Baleg) DPR menetapkan angka 3%, meningkat dari 2,5% yang belaku saat ini, sebagai posisi akhir Dewan sebelum naskah RUU dibahas bersama dengan pemerintah. Apakah persoalan PT sudah selesai? Sebenarnya kesepakatan Baleg yang hendak diberlakukan secara nasional tersebut belum final.Artinya, parpol kecil seperti PAN,PPP,PKB,Hanura, dan Gerindra tak hanya berharap PT 2,5% masih dipertahankan, tetapi juga pemberlakuan bagi DPRD provinsi dan kabupaten/kota tidak sebesar persentase PT untuk DPR. Apalagi saat ini PT sama sekali belum berlaku bagi DPRD sehingga pemberlakuan sama secara nasional dikhawatirkan akan“menghabisi”parpol kecil di daerah.

Di sisi lain, parpol besar seperti Golkar dan PDIP sebaliknya justru masih ingin memperjuangkan agar persentase PT meningkat lebih tinggi hingga 5% dengan harapan agar penyederhanaan sistem kepartaian dalam rangka efektivitas pemerintahan secepatnya terwujud. Sementara itu Partai Demokrat mengusulkan angka agak moderat, yakni 3-4%, sedangkan Partai Keadilan Sejahtera berharap kenaikannya tidak lebih dari 3%.

Mengapa Ambang Batas?
Ambang batas parlemen adalah mekanisme institusional yang sengaja diciptakan untuk meningkatkan efektivitas parlemen di dalam sistem demokrasi presidensial berbasis multipartai sebagaimana berlaku di negeri kita. Seperti diketahui, skema presidensial berbasis multipartai cenderung berisiko apabila jumlah partai politik di parlemen terlalu banyak dan pada saat yang sama tidak satu pun parpol yang memperoleh kursi mayoritas. Logika sederhana yang berlaku dalam praktik demokrasi di mana pun,semakin banyak parpol di parlemen, semakin bertele- tele pula proses perumusan dan penetapan kebijakan.

Pengalaman DPR hasil Pemilu 2009 sudah menunjukkan hal itu.Revisi UU No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu misalnya tak kunjung tuntas di tangan Dewan, padahal sudah dimulai sejak akhir 2010. Revisi UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu yang tengah dibicarakan ini pun bertele- tele karena parpol masing-masing mempertahankan kepentingan mereka.

Berapa Toleransi PT?
Sulit dimungkiri bahwa pemerintahan hasil pemilu––dalam pengertian eksekutif dan legislatif—sejauh ini lebih banyak “berwacana” dan “berpolitik” ketimbang bekerja untuk rakyat dan masa depan bangsa kita. Hal itu tak hanya tampak pada pemerintahan di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat lokal, baik provinsi maupun kabupaten dan kota. Karena itu, kita memerlukan struktur kekuatan politik parlemen nasional dan lokal yang lebih ramping agar politik dagang-sapi semakin berkurang dan harapan akan efektivitas pemerintahan bisa terwujud.

Dalam kaitan ini, pemberlakuan ambang batas parlemen bagi DPRD provinsi dan kabupaten/kota adalah suatu keharusan politik yang perlu dilembagakan melalui revisi atas UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Struktur politik DPRD-DPRD yang sangat fragmentatif dewasa ini tidak memungkinkan pemerintah daerah bekerja efektif karena terbebani oleh aneka kepentingan parpol yang acap kali tidak terkait dengan kepentingan rakyat di daerah. Persentase PT bagi DPR dan DPRD hasil Pemilu 2014 mendatang sebenarnya terpulang kepada komitmen parpol mengenai urgensi penyederhanaan sistem kepartaian di satu pihak dan kebutuhan akan pembentukan pemerintahan yang efektif di lain pihak.

Artinya, DPR dan pemerintah selaku pembentuk UU semestinya memiliki skema atau desain tentang persentase PT maksimal yang bisa ditoleransi.Desain seperti ini perlu bukan hanya untuk menghindari “pembonsaian” parpol ala Orde Baru,tetapi juga agar ada kepastian mengenai struktur kepartaian di masa depan. Jika persentase PT maksimum yang bisa ditoleransi itu, katakanlah sekadar contoh, 10%, pertanyaan berikutnya, berapa kali pemilu angka maksimal itu hendak dicapai? Begitu pun jika skema PT maksimum sekitar 5% atau 7% dan seterusnya.

Perlu Konsistensi
Mengenai penetapan persentase PT sebesar 3% oleh Baleg dan berlaku secara nasional, jelas sulit dinilai apakah wajar atau tidak karena DPR dan pemerintah belum memiliki skema atau desain jangka panjang mengenai sistem kepartaian “sederhana” yang diwacanakan selama ini.Apalagi skema PT maksimum yang bisa ditoleransi untuk menghindari “penyeragaman” parpol adalah 10% dan ditargetkan dicapai dalam lima kali pemilu, maka angka PT yang wajar untuk Pemilu2014adalah4%.Angka tersebut adalah peningkatan 1,5% dari PT yang berlaku saat ini dan merupakan kenaikan bertahap selama lima kali pemilu (masing-masing 1,5%) untuk mencapai PT maksimum yang bisa ditoleransi sebesar 10%.

Cara berpikir yang sama bisa diterapkan jika misalnya skema PT maksimum lebih kecil atau lebih besar dari 10%.Pesan terpenting dari tulisan ini adalah, pertama,kebutuhan bangsa kita akan reformasi institusional yang konsisten dan tidak tambal sulam sesuai dengan selera politisi DPR; kedua, untuk mewujudkan reformasi institusional yang konsisten dan terarah, jelas diperlukan politisi dan parpol yang konsisten pula.

Karena itu, kita tentu harus kecewa jika para politikus Senayan cenderung berdebat kusir soal PT.Masing-masing yang mempertahankan pendapatnya tidak memiliki skema yang jelas mengenai arah pemerintahan, parlemen, dan kepartaian di masa depan. Lalu, bagaimana bangsa ini bisa maju jika untuk memperdebatkan soal PT saja para politikus kita menghabiskan waktu dan energi berbulan-bulan? ●

Dimuat di Seputar Indonesia, 19 April 2011

0 Responses to “Ambang Batas Parlemen”



  1. Leave a Comment

Leave a comment




Joint at Milist AIPI

Publikasi-Publikasi AIPI
















Jejak Pengunjung

Kalender

April 2011
M T W T F S S
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
252627282930